“Pertama kali ke Luar Negeri nanti, aku
mau keliling Asia dulu. Malaysia, Singapore, Thailand. Baru ke yang jauh. Kalo
ke Mekkah nanti dulu”
Saat itu, ku pikir untuk apa mau mencapai yang jauh jika yang dekat saja
belum ku gapai?
Namun, ternyata ini bukan tentang jarak di peta. Tapi jauhnya jarak hatiku
dan Kekasihku. Bagaimana mau dijadikan tamu jika sama sekali tak rindu?
Bagaimana akan diundang ke rumah-Nya, jika meminta saja tak pernah?
“Benerin diri dulu lah” atau “Disana nanti katanya di adzab langsung.
Ngeri cuy, dosa gue masih banyak”
Dari yang sholatnya bolong-bolong. Ceritanya mau di genapi 5 waktu. Dari yang suka sholat di penghujung waktu, niatnya mau in time biar kedapetan sunnah muakkad plus tahajjudnya kalo bisa. Yang awalnya cuma kenal surat pendek, mulai ngaji 1 halaman perhari. Itupun suliiit sekali.
Kurang lebih itu juga yang sempat bersarang di kepalaku. Bagiku, saat itu
umroh/haji terlalu dini untuk diminta. Saat imajinasi tentang kesuksesan
di usia muda adalah segunung prestasi beserta konferensi di berbagai belahan
dunia. Alih-alih berharap perjalanan religi yang kupikir hanya cocok untuk
kalangan orang tua.
Saat muda dimana ambisi sedang besar-besarnya, yang ku pikir adalah
bagaimana caranya aku menjangkau banyak negara, menemui banyak orang hebat
untuk memuaskan rasa penasaranku terhadap pemikiran kaum urban. Klise, kan?
Anak muda dan isi kepalanya yang tak mau disalahkan
Sampai, suatu waktu ku praktikkan hadits tentang iri dan dengki yang ku pelajari di jenjang Madrasah
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Sumber https://rumaysho.com/1586-hanya-boleh-hasad-pada-dua-orang.html
Pikirkurku saat itu, dikabul Alhamdulillah. Tidakpun tak papa
Untuk apa memaksa?
Tapi masya Allah. Begitu luasnya ampunan Allah. Anak muda sombong ini diberikan kesempatan dengan jalan sesuai amalnya. Jika menurut logika, harusnya saat passport terpegang setelah sekian kali bolak-balik kantor imigrasi seorang diri, maka selesai sudah tinggal menunggu proses singkat sebelum berangkat ke tanah suci. Dan dengan percaya dirinya anak muda tak tahu diri ini berpikir mudah sekali prosesnya.
Namun, setitik saja Allah datangkan wabah yang tak kasat mata. Selama itu pula Baitullah seolah hanya menerima hamba-hamba yang hanya tulus datang kepadaNya. Tak tanggung-tanggung, Allah memberi jeda 2 tahun dari rencana untuk anak muda sombong ini memantaskan diri. Dia tak tahu sampai batas mana dia akan berbenah. Karena faktanya, selama apapun dia diberi waktu bersiap dia tetap merasa tak pantas. Entah karena waktu bersiap yang dia tak gunakan dengan baik atau karena memang selama apapun waktu yang dimiliknya dia memang tak akan pernah menjadi orang baik.
Lalu, apa rasanya saat pertama
kali mata memandang terangnya Masjid Nabawi hanya di balik jendela bus? Apa rasanya
saat bahkan payung Madinah belum terbuka dan ku temukan keindahan disana?
Dulu, kupikir tempat yang akan
membuatku tenang adalah sebuah tempat sejuk, dengan sedikit atau hampir tidak
ada orang. Makin sepi tempat makin sunyi makin aku bisa merasakan diriku
sendiri dan ketenangan yang aku inginkan. Itu bayanganku dengan arti healing
sesungguhnya
Lalu aku bisa apa, ketika aku
merasakan ketenangan luar biasa, saat
bahkan berjalan santai saja aku hampir tersandung saking banyaknya keliaran orang dengan
hiruk pikuk polusi kendaraan di tengah suhu panas 40 derajat? Aku bisa apa saat bahkan hatiku tak bisa bohong, ditengah berdesakan antri masuk Roudhoh yang sangat
ramai tapi justru aku merasakan kebahagiaan membuncah. Atau, saat aku diberi rasa aman, saat bakan aku
tahu kapan pun aku bisa mati terinjak atau
terjepit ditengah ribuan atau bahkan jutaan orang selama berkeliling Ka’ba
selama 7 putaran.
Lantas darimana rasa aman dan ketenangan yang lur biasa itu hinggap datang? Saat bahkan situasi dan tempat yang dia kunjungi sama sekali tak memiliki kriteria tenang dan damai yang selama ini dia bayangkan.
Rupanya, tenang, aman dan damai itu berasal dari hati. Hati yang tau bahwa dia sedang kembali kerumahNya. Hati yang tau bahwa Kekasihnya selalu mengupayakan yang terbaik untuk menyambutnya. Dia tak takut dengan apapun, karena percaya bahwa musibah yang datang akan menjadi penggugur dosa. Dia tenang, karena selama disana dia percaya apa saja yang terjadi padanya adalah atas kuasa dan kehendakNya. Tak kurang dan tak lebih.
Semua yang terjadi menjadi peringatan yang akan membuatnya tunduk dan patuh dan juga akan membuatnya berlaku baik bagi sesama. Well, itu yang kurasakan. Harusnya ini
tak hanya berlaku di tanah haram saja. Di atas bumi manapun kaki ini berpijak, harusnya sama, ini
bisa dipraktikkan. Maka agar hidup damai dan tenang. Selalu terima takdir dan
percaya bahwa semua yang terjadi atas Kuasa dan KehendakNya. Tak kurang dan tak
kebih
Pesanku, dari anak muda sombong
yang hampir memakan umpannya sendiri
adalah teruslah meminta. Tak perlu menunggu umurmu tua. Tak perlu menunda hanya karena
amal dan akhlak yang kita rasa tak pantas menjadi tamuNya. Jika kita menunggu usia yang
pantas, yakinkah kita akan terus bernyawa di usia pantas itu? jika menunggu amal banyak? Berapa
puluh tahun yang kita anggap banyak, jika umur ini bisa di Allah akhiri kapan saja.
Maka sekali lagi, mintalah dari
sekarang. Semoga sejak bisikan lirihmu meminta maka sejak saat itu pula bertahap
Allah beri hidayah untuk kita memantaskan diri menjadi tamuNya. Bersiaplah kawan. Jangan
takut dengan berdo’a. Karena Ia, Allah Maha sang segala Maha yang memiliki
segalaNya. Semoga terus Allah permudah untuk sampai menjadi tamuNya
Komentar
Posting Komentar