“Kamu kenapa nggak serius sih
latihannya?”
“Mau se-bagus apapun toh pasti
bakalan kalah. Saingannya nanti katanya bagus-bagus”
“Siapa yang bilang?!?”
Itu sepenggal obrolan tegang yang
ku lakukan saat membujuk seorang adik yang dalam waktu dekat akan menjadi
kontingen lomba mewakili kecamatan.
I felt de javu.
Dejavu adalah saat kamu merasa
apa yang terjadi sekarang, pernah dialami di masa lalu. (Brain Academy)
Saat itu untuk pertama kalinya dalam
hidup ada yang sepercaya itu mengembankan sebuah amanah besar. Dimana aku
terpilih menjadi salah satu perwakilan lomba mewakili sekolah, yang mana tiap
tahunnya sekolahku selalu menjadi juara di ajang lomba tersebut. Meski aku tak
dituntut secara langsung harus menang, tapi yang ku tahu semua cost yang
sekolah alokasikan pasti agar siswa-siswi nya menang.
Dan keresahan yang sama juga ku
rasakan saat itu. Karenanya aku merasa dejavu.
“Gimana kalo yang berkompetisi nanti bagus-bagus?”
“Ya, mau gimana? Itu urusan
mereka. Tugasmu berikan yang terbaik semaksimal yang kamu mampu. Saya percaya
kemampuanmu bisa diandalkan.”
Cukup singkat. Tapi mengubahku
sangat.
Jawaban beliau memang bukan
kalimat manis berisi motivasi yang membuatku terus tersenyum sepanjang hari. Tapi
kalimatnya adalah kalimat sederhana yang membuatku bangkit dengan semangat
berapi-api. Kalimatnya mengubahku hingga kini, bahwa sekalipun diluar sana
banyak orang yang lebih baik, idenya lebih hebat. Itu urusan mereka. Karena
tugasku hanyalah mengerahkan seluruh kemampuan yang ku punya. Tugasku
memberikan yang terbaik yang ku bisa.
Mungkin sama. Itu kegelisahan
banyak orang yang mungkin sekarang sedang akan mengadu kemampuannya. Sedang
mencoba mematahkan stigma. Aku cukup beruntungf karena keresahanku saat itu ku
nyatakan pada orang yang tepat dan dijawab oleh orang yang tepat pula. Lalu
bagaimana dengan banyak orang yang memiliki kegelisahan sama dan berakhir
mendapatkan jawaban yang membuatnya lebih patah?
Atau, seseorang yang menurut
hierarki Maslow harusnya menjadi support system;keluarga, malah berperan
membuatnya makin lamban?
Nggak usah aneh-aneh lah. Sekolah mah sekolah aja. Ngapain lomba-lomba
an nggak jelas. Kita lo wong kampung. Iya lek menang, lek nggak malah modar.
Pokok iso moco iso nulis, cukup. Ra usah duwur-duwur. Iso tamat SMA wes
syukur
Mungkin itu kata-kata yang sering
di dengar dan diucapkan oleh lingkungan sekitar. Semenjak kita sadar bahwa kita
generasi pertama dalam berbagai hal; pendidikan, cita-cita dan kemauan. Juga
sadarilah bahwa kamu adalah seorang perintis, bukan pewaris. Rintanganmu akan
lebih banyak dan beragam. Yang mungkin, orang terdekatmu tak kan paham apa
maksudnya dan bagaimana cara mengatasinya.
Terbiasa bermain aman membuat
mereka takut mencoba hal baru. Mencoba hal asing yang tak pernah mereka dengar
dan lihat sebelumnya. Maka dengan menyadari bahwa sebagai perintis kau harus
bersikap bagai singa sang raja rimba dalam keluarga, artinya kau harus berani
dan persisten untuk mematahkan stigma. Kau generasi pertama yang sedang membuka
lahan di tengah hutan. Kau mengadu nasib mencari peruntungan masuk dalam hutan
larangan yang kata orang di lingkunganmu sekarang bagai hutan kutukan. Beredar
cerita katanya dan katanya. Tapi selamat, kau sedang mengalaminya langsung dan
bagimu tak seburuk cerita itu rasanya. Memang sangat menakutkan, jika hanya
dibayangkan. Tapi buktikanlah. Kau penakluk kehidupan rimba yang pernah orang
sekitarmu kutuk.
Untuk generasi perintis. Jangan patah
asa. Aksimu sedang ditunggu banyak sosok di belakangmu.
Komentar
Posting Komentar