Ada banyak sekali hal yang patut gue syukuri di hidup gue. Salah satunya kepunyaan dan keberadaan orang tua yang seutuhnya. Masih ada dan milik gue, tanpa berbagi dengan anak lain. Menjadi anak tunggal nggak se-enak dan nggak se- nggak enak yang mereka omongin ternyata. Kenapa? karena gue punya perspektif sendiri dalam memandang berbagai pros and contras yang anak tunggal lain ceritain ke gue dan gue tanggapi dengan sudut pandang gue.
"jadi anak tunggal tuh enak, apa-apa dikasih karena nggak ada saingan. Semuanya buat dia"
" Apaan deh, yang ada jadi anak tunggal tuh posesif, kebanyakan dikekang. Lah gimana enggak ibarat kata segala ketakutan or apa yang orang tua kita belum capai di usia mudanya dulu di akumulasi dan dimanifestasiin cuma ke satu orang. Puyeng gak loh"
Well, bahkan dulu gue masih inget banget gimana bapak selalu nekanin gue buat lancar baca saat kelas 1 SD. Saat teman gue yang lain masih spelling per abjad (ngeja) gue udah lancar. Karna di balik itu, setiap selesai ngaji malem di TPQ gue udah dipanggil ke ruang tamu sama bapak lengkap dengan dua buku random dan penebah nyamuk yang dari lidi itu. Ngaji malem yang biasanya bikin anak lain ngantuk, padahal literally cuma se-jam-an - dari jam 6-7 kurang lebih. Nggak berlaku di gue. Kalo bisa nginep aja sekalian di TPQ pikir gue. Apalagi temen lain yang udah pada bayangin mau nonton sinetron sepulang ngaji legkap dengan muka berbinar. Then gue duduk beberapa halaman dari tiap buku yang udah disiapin lengkap dengan keringat di punggung dan yang entah kenapa tiap gue duduk buat baca disitu gue selalu ngerasa spot panas cuma dateng ke gue kayak spotlight effect. Belum lagi, pas di tengah jalan tetiba otak gue blank, lupa huruf apa dan gimana cara bacanya. Dah kelar hidup. Bakalan melayang tuh penebah. Sampai si Mbah interupsi bilang biar gue tidur karena kelamaan. Iya mikir se-huruf lama banget, kalo emang lupa mau gimana ye kan?. Dan bapak cuma nyahut santuy "Biar aja nggak usah tidur, mau sampe besok juga kalo belum bisa mending nggak usah tidur" lengkap dengan muka datarnya. Masih kerasa banget atmosphere takutnya saat itu.
Maka, ketika gue beranjak remaja. Mulai banyak pertanyaan-pertanyaan hidup- kayak hal yang kadang gue pikir nggak guna, nggak adil buat gue, kenapa dulu harus gini? kenapa dulu harus gitu? semuanya gue ungkapkan.
Dan seketika gue sadar, kerasnya beliau ngedidik anaknya buat belajar semata beliau ingin gue bisa dsn terbiasa dengan belajar. Kenapa? karena beliau baru ngerasa betapa pedihnya jadi "nggak bisa". Beliau cerita gimana dulu malesnya beliau sekolah. Dimana dulu Bapak disuruh buat sekolah tapi lebih milih bawa clurit di tasnya, buat cari rumput. Lebih baik cari rumput buat makan kambingnya, daripada sekolah, pikirnya. Fine I got it
Ketika dulu gue bilang hidup gue terllau berat karena harus nyantren di masa kecil. Dan hanya dijawab dengan sahutan satu kalimat pendek dengan santai "ini demi kebaikan kamu". Dan gue sangkal habis-habisan bahwa gue nggak pernah baik-baik aja. Dan terjawab sudah. Bagaimana saat arus hidup ini mulai meggila dan hanya dengan berpegang teguh pada prinsip agama kita bisa terjaga. Bagaimana saat hapalan Qur'an dulu gue anggap sebagai beban karna kalo nggak hapal udah ditungguin sama pukulan tasbih kaoka dan sekarang nyatanya terpakai seluruhnya sebagai penenang segala gundah dan gelisah jiwa.
Jadi, apalagi sekarang?
Terlepas kedua orang tua gue juga manusia. Yang pasti atas izin Allah selalu punya khilaf dan dosa. Maka disini, ketika mereka (kadang nyebelin), selalu gue tekankan pada diri gue bahwa kau bakti karena perintah Allah. Dengan dalil yang gue pahami dan semoga terus meresap,
رِضَى اللَّهِ فِي رِضَى الْوَالِدَيْنِ وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ
“Ridho Allah Subhana wa Ta’ala terdapat pada ridho kedua orang tua. Kemurkaan Allah Subhana wa Ta’ala ada pada kemurkaan kedua orang tua”
HR. Tirmidzi no. 1899, Ibnu Hibban no. 2026, Al Hakim no. . Al Hakim Rohimahullah menyatakan hadits ini shohih sesuai syarat Muslim dan disetujui oleh Adz Dzahabi Rohimahullah. Al Albani mengatakan dalam Ash Shohihah, ‘Sebagaimana yang beliau berdua katakan’'
Maka disini coba coba gue resapi, maknanya adalah ketika gue cari selalu Ridho Allah maka adalah dengan Ridho mereka dan pada saat mereka murka bisa jadi itu manifestasi murkNya Allah. Dengan gue inget bahwa bakti gue kepada beliau hanya karna Allah semata. Rasanya unggah-ungguh ke Beliau juga makin hati-hati. Gue baru belajar di bidang ini. Tapi semoga selalu ada naungan dan RidhoNya Allah di setiap langkah kebaikan yang sedag gue tapaki. Semoga langkah baik juga diiringi kebaikan.
"Gimana kalo ortu kita ternyata ngajakin kita nentang hukum Allah secara nggak langsung? Sedang Ridho Allah ada pada mereka"
Perlu diingat, ortu kita juga manusia. Jika saat itu (semoga) kita sedang sadar. Maka ingatkan belaiau. Menurutlah jika memang itu atas dasar kebaikan. Dalam arti jika itu menentang Allah, sebenarnya ada yang melenceng disini. Maka luruskan, Kau bakti karena Allah. Jika memang baktimu mengajakmu menentang Allah, itu bukan bakti (lagi) namanya.
Begitupun, pasti saya (masih) sering buat salah entah sengaja maupun tak sengaja. Maka di tiap kesempatan saya selalu sisihkan waktu untuk meminta maaf dan atau sambil cium kakinya di akhir percakapan atau di akhir pillow talk kami yang kadang tetiba memanas. Semata hanya untuk Ridho Allah.
Sampai suatu waktu " Kamu tuh minta maaf terus, bikin salah terus" celetuknya yang entah mengapa membuat saya kepikiran sepanjang hari. Setelah perenungan kemudian saya utarakan alasan saya terus meminta maaf. Karna saya sadar, dengan sifat manusia saya (nafs), saya banyak salah. Dengan kehati-hatian saya, saya pasti bikin salah yang mungkin bisa menyakiti hatinya. Maka jika saya refleksikan, dengan durasi waktu hampir setiap hari kita interaksi dengan orang tua kita, apakah pantas jika kita hanya meminta maaf setahun sekali saat hari raya???. Lantas bagaimana jika di penumpukan dosa selama setahun itu, nyatanya saya tak sampai di perayaan itu karen Allah panggil saya terlebih dulu.
Dan setelah ini saya coba terapkan. Muncul refleksi penyerta bahwa saya sebagai manusia biasa dengan siapapun dan apapun saya berinteraksi mungkin juga bisa bikin salah. Maka sekarang, even saya buat pengumuman jadwal besok atau forward an chat dosen, saya coba bisakan untuk berkata maaf di akhir kalimat.
Semoga jadi pembelajaran bersama. Saya yang baru belajar, dan semoga bisa belajar bareng dengan siapapun kalian yang sedang membaca. Again, pasti saya ada salah. Boleh comment untuk ingatkan saya atau diskusi bersama . Mohon maaf dari saya sekeluarga pada kalian semua. Terimakasih banyak dan semoga selalu Allah limpahkan rahmat hidayah pada kita semua. Semoga sellau diberi kelancaran rizki halal serta kebarokahan umur panjang. Mohon maaf semua
Komentar
Posting Komentar