Beberapa waktu lalu, ada suatu kejadian yang bikin saya lookback ke kejadian dengan kasus yang hampir sama cuma untuk compare dan sekiranya apa yang bisa saya ambil pelajaran dari kejadian tersebut.
Dimana, ada seorang anak usia sekolah awal, pulang kerumah dalam keadaan nangis dan ngadu karena dinakalin temennya (pukul or something). Si orang tua berang, gimana bisa orang anak ini itu dikenal pemberani dan sejenisnya kalo dirumah. Si orang tua berang sambil bilang harus bales, lebih lagi jangan kalah diem. Sadar atau idak, sebenarnya ad transfer ego tinggi dari orang tua ke si anak ya bund?.
Mari kita compare dengan kasus kedua
Guru fiqih di MTs tetiba cerita pas udah selesai bahas soal,
" Dari kemarin itu si kecil (anak cowok beliau usia sekolah awal, juga) saya ajakin potong rambut banyak banget alasannya. Saya awalnya mikir mungkin dia nggak mau karena pas moody aja. Sampai akhirnya karena sudah beberapa kali terakhir saya ajakin nggak pernah mau. Saya ambil langkah tegas paksa dia. Dan ternyata hal diluar dugaan saya. Bahwa dia berulang kali nolak untuk potong rambut karna ternayata ada benjolan dikepalanya (benjolan kenyal). Baru saya tahu kalo ternyata itu ulah temennya. Saya bawa ke dokter (entah terapi apa) untuk keluarin benjolan yang ternyata isi cairan itu. Selesai."
Loh, loh. Trus temennya nggak di apa-apain gitu. I mean, masak udah selesai gitu aja. Efek jeranya buat pelaku apa? Bukannya malah ngajarin si Anak neriman aja? Wah gedenya jadi kriminal tuh kalo pelakunya nggak ditindak lanjuti.
Kira-kira itulah keriuhan opini di kepala saya yang nggak saya utarakan. Well, guru saya rupanya memang sengaja memberi jeda buat kami saling berasumsi. Yah, walaupun cuma kesimpen di dalam hati aja.
" Kalau, seandainya sejak saya tahu ada benjolan itu dan pelakunya adalah temannya sendiri. Lantas saya berang karena ternyata orang tua anak ini juga tau tapi pilih diam, saya tersinggung karena kesannya lari dari masalah. Saya datangi rumah temannya itu. Saya minta pertanggungjawaban atau bahkan saya balas serupa atau malah saya balas lebih parah ke si anak. Lantas Bapaknya tidak terima dan balik pukul saya. Lalu terjadi baku hantam antar orang tua karena masalah anak, tidak hanya putus hubungan pertemanan tapi bahkan muncul dendam tak berkesudahan. Tidakkah masalahnya jauh lebih panjang dan rumit?. Ingat, masalah anak tetap masalah anak. Sebagai oarang tua jadikan perilaku kita sebagai contoh dan biarkan dia mempersepsikan dengan sudut pandangnya. Luruskan jika ada yang gagal paham disana."
Sesimpel itu? Selegowo itu?
" Saya maafkan anaknya tapi tidak dengan apa yang dia perbuat. saya akhiri semoga bermanfaat". selesai beliau keluar dari kelas.
speechless. Bahkan bel istirahat yang biasanya bikin sekelas riweh sampe lari ke kantin pun, baru kali ini jadi kayak terompet sangkakala yang bikin sekelas diem semua. Rupanya, kami masih tenggelam di cerita Bpak Guru ini.
Dan itu sukses jadi perenungan saya sampai kemarin pun.
Dari situ realize dan saya tarik kesimpulan. " Iya ya, bukannya dengan begitu malah ngajarin anak jadi pemaaf. Bagaimana handle masalah dengan "ambil bawahnya". I mean kesalahan itu tetep kesalahan sampai kapanpun. Tapi anggap kesalahan itu objek. manusianya subjek. dan antar subjeknya harusnya tetep punya hubungan baik, sampai kapanpun. Manusia tempat salah, dosa dan lupa kan? terlebih anak kecil, tambah lagi pemaklumannya. Wah dari situ benar-benar diingatkan dan langsung kebayang kehidupan menjadi orang tua seperti apa. Karena jujur sepertinya itu adalah pertama kalinya yang bikin saya secara sengaja kemudian suka jika membahas tentang ilmu parenting.
Honestly di awal pun ngerasa nggak tertarik pas beliau nyeritain pembuka tentang anaknya yang mau potong rambut. Tapi pas udah mulai masuk ke inti cerita, dari situ baru nyadar kalo Beliau ingin berbagi insight dari pengalamannya
Dari hal itu, banyak banget yang guru saya ini ajarkan ke kami. Apalagi buat anaknya yang ngalamin langsung sebagai tokoh dalam cerita. Cara didik beliau akan terus diingat dan melekat sampai ke keturunannya nanti.
Jadi inget quotenya kak Dewi Nur Aisyah di buku A-We Inspiring Us bahwa anak itu adalah cerminan dari orang tua. Bagaimana bayangannya akan lurus jika ojeknya bengkok. Dan makin deh, sering jadi reminder buat saya.
Sekarang itu hampir kalo mau bertingkah itu jadi kayak terus tanya ke diri sendiri "Apakah pantas sebsgai (calon) madrasatul ula begini? dan Udah se-capable mana sih aku jadi madrasatul ula nanti?"
Baiklah mungkin sudah itu saja teman-teman. Terima kasih banyak. Lagi, ada salah kepenulisan kata atau insight ku yang mubgkin salah dan terlalu menggurui juga mohon maaf. Sampai ketemu Insya Allah. Wassalam...
Komentar
Posting Komentar