Move on itu nggak selalu dari pacar kan?. Gue mau cerita dimana gue mencoba move on dari masa lalu-yang bagi gue saat itu adalah turning point dalam hidup gue yang sampai hari ini gue syukuri when I was teenager.
Pengalaman pertama kali move on
adalah pas SMP. Gue move on dari sebuah masa lalu yang bikin gue saat itu nggak
maju-maju. Ini soal pertemanan. Saat itu kelas 3 SMP, gue bersyukur nggak
dibolehin pindah ke kelas reguler saat gue minta wali gue untuk menemui guru di
sekolah. Gue yang notabene mendapat peringkat 2 di kelas reguler sebelumnya,
mau nggak mau ikut kebijakan sekolah dengan gue ditempatkan di kelas exellent di kelas berikutnya dengan anak-anak pinter pentolan sekolah. Apa rasanya? Ofc bosen. Merasa terkucilkan.
Thats why gue mau pindah kelas. Kalo yang biasanya gue sebagai primadona gosip
artis di kelas reguler, maka di exellent nggak akan ada kerumunan yang bahas
gosip artis yang lagi happening. Atau saat gue cukup kerjain PR di malam hari,
tanpa susah payah gue belajar gue bakalan mentereng jadi yang paling pinter,
karena yang lain jarang ada yang ngerjain. Tapi di exellent, nggak cukup hanya
kerjain PR dari guru, tapi juga harus paham BAB selanjutnya yang belum
dijelasin. Well. It was a such as a good experients. Dari situ gue tetep bisa
punya pengalaman bagaimana agar gue bisa tetep membawa diri. Sekalipun gue jadi
bagian dari unggulan, tapi sikap gue tetep ingin jadi anak reguler. Yang menikmati hidup, yang nggak semuanya dibawa serius.
Dari yang di reguler peringkat pertama atau kedua,
di exellent gue lompat indah jadi peringkat 32 dari 32 siswa. Well, untuk
keluarga yang hanya peduli ranking pas rapot-an. Hal itu adalah sebuah
kemunduran. Gue mulai nggak peduli dengan dunia sekolah saat itu. Gue bahkan
kerap kali kirim surat sakit di hari sabtu. Gue selalu mencari cara untuk nggak
di kelas karena kebetulan gue tergabung di OSIM (Organisasi Siswa Intra
Madrasah). Padahal, alasan masuk OSIM saat itu karena ditunjuk wali kelas di kelas sebelumnya,
dan gue secara ogah-ogahan ikut. Ya gimana, ikut organisasi itu nyita waktu gue
banget sebagai anak yang sekolah aja udah gue anggep beban. Apalagi liat temen-temennya yang pulang sedang dia harus stay rapat di sekolahan. Atau saat dia Cuma ingin jadi
yang terima jadi saat ada acara, tapi nyatanya dia yang harus jadi organizer
acara plus yang beresin di akhir event (baca: Buba).
Bosen. Temen gue di reguler
perlahan jauh. Sedang dirumah gue nggak punya temen karena SD-nya gue emang
dari pesantren. Satu-satunya hal yang bisa gue lihat saat itu adalah gue nggak
butuh siapapun di sekolah. Gue mulai uninstall aplikasi facebook yang saat itu
amat sangat jadi media yang mengabarkan apapun kegiatan yang sedang gue lakukan
ke dunia. Hiburan gue nonton TV dan nulis semua yang gue rasa di buku diary.
Bahkan, ketika talent day hari Sabtu, gue cari aman dengan ikut ekskul Qiro’ah. Karena
yang gue tahu gue nggak akan capek ngobrol sama orang-orang karena jumlahnya cuma
7 biji dan ke semuanya belum pernah ada yang gue kenal personally. Gue yang
selengean, tiba-tiba ikut ekskul Qiroah, jelas bikin temen-temen seperjuangan
gue sangsi. Mereka pikir, apakah preman mau tobat?. Tapi bangganya, itu adalah
pertama kalinya gue mulai tidak peduli dengan apa kata orang, even teman
terdekat gue-dulu. Yang gue tahu, gue sedang memakai seluruh energi yang gue
punya untuk diri gue sendiri. Walhasil, gue nggak takut dalam membuat keputusan
walaupun hal itu bikin gue beda dari yang lain. Tanpa sadar gue mulai memahami
diri gue lebih dalam dari yang sebelumnya. Terbukti dari gue yang bodo amat
dengan opini orang lain terhadap apa yang gue lakukan. Gue nggak lagi peduli
dengan masa lalu, dimana yang gue lihat adalah dengan terus jalan ke depan
tanpa gue mau tahu tentang betapa buruknya masa lalu gue. I’m so proud of it.
Dari sikap selfish itu, nggak
sedikit teman-teman gue atau bahkan orang tua mereka yang kenal dekat dengan
gue suka nyindir halus dengan bilang bahwa gue mulai menghilang dari peredaran.
Gue emang nggak lagi kumpul dengan mereka. Gue nggak lagi menawarkan tumpangan
bonceng temen sekalian mampir rumahnya kayak biasa. Gue ngerasa nggak perlu
melakukan hal itu karena ngga ada benefitnya ke gue. Gue yang dulunya bahkan
super dilema mau ngajak temen gue yang mana untuk di anter pulang sampe relain
gue bonceng 3. Sekarang cuek bebek karena gue pikir, harusnya mereka sendiri udah
anticipate giamana cara pulangnya dengan cara apa karena kita udah dewasa. I love her
yang saat itu hidup dengan dirinya sendiri.
Puncaknya, gue melanjutkan
sekolah berasrama di kawasan yang lebih kota daripada lingkungan gue
sebelumnya. Awalnya, gue pikir gue akan culture shock pas disana. Karena di
lingkungan gue, mereka yang dari desa saat ke kota akan terlalu naif dan lugu
untuk kehidupan di kota. Hasilnya, selain mereka akan lari ke kenakalan remaja,
rata-rata mereka akan putus sekolah sebelum waktunya karena
terpengaruh hal buruk di luar sana. Tapi ternyata, Maha baik Allah yang masih
membiarkan gue untuk selfish dengan diri gue. Dari awal gue masuk kelas, gue
nggak mengenali siapapun sebelumnya. Gue juga tidak mencoba akrab dengan
siapapun. Dari selfish itu gue mendapat pelajaran bahwa, semakin gue memahami
diri gue, semakin gue memahami orang lain. Maka, gue set boundaries tentang
siapa aja yang selalu gue coba hindari karena malas cari masalah sama dia. Atau
siapa aja yang netral yang lets go aja mau gue ajak bicara. Prinsipnya simpel saat
itu, lo terserah mau jungkir balik di depan mata gue, selama itu nggak nyentuh
gue, lo bebasa ngelakuin apapun. Walhasil, I’m still on my goals. Gue tetep
nulis diary untuk memahami diri gue. Gue nggak berusaha untuk jadi yang paling
pinter karena gue ngerasa nggak enjoy. Gue hanya melakukan apa yang gue senangi
yang bikin gue merasa bangga dengan diri gue dan berakhir muji diri gue sendiri
ketika gue nulis diary. Itu yang gue enjoy..
Dan hasilnya, saat itu gue
menemukan diri gue enjoy saat presentasi. Gue suka pandangan paham temen-teman
saat gue menjelaskan materi dengan berbagai analogi ynag gue punya. Gue suka saat bahasa tubuh
gue all out keluar saat presentasi. Gue suka saat presentasi berakhir dan gue
akan bilang ke diri gue bahwa seperti itulah seharusnya yang gue bilang di
depan kelas-nggak kurang dan nggak lebih. Sekali lagi, ini adalah the power of
selfish, ketika kita hanya menghabiskan energi yang kita punya untuk diri kita
sendiri. Kita nggak peduli dengan pendapat dan persetujuan orang lain untuk
kita bergerak melakukan apa yang kita sukai. Saat itu gue nggak lagi mengejar,
gue malah menarik. Gue mendapat banyak sekali kesempatan yang belum gue dapat
dan bayangkan sebelumnya. Mulai ada tawaran untuk gue mengikuti berbagai macam
perlombaan. Suatu kompetisi yang harusnya bukan anak jurusan gue yang
diikutkan. But let say, talent make you light.
Tapi disinilah, gue sebenarnya
ingin melanjutkan cerita tentang journey gue. tapi yang yang ada topiknya malah
nggak fokus. Maka mari, adopt yang sekiranya bermanfaat jika lo adopt ke hidup
lo yang sekarang. Selebihnya, mungkin ada hal yang terlalu berlebihan yang gue
lakukan di masa lalu dan buat lo itu nggak bagus, just skipped. I just want to
share gimana selfish bisa membawa gue lebih fokus memahami diri gue. Dan gue
pun harus belajar lagi dari tulisan gue ini. Bukan berarti karena gue berbagi
advice maka gue paling bijak dan udah paling bener, NO. Gue juga butuh untuk di
nasehatin, dan menulis adalah cara gue yang paling ampuh buat menasehati diri
gue sendiri yang kerap kali lupa ini. Syukur-syukur, ini jadi nasehat juga
untuk kalian yang baca. Jangan ditelan mentah-mentah. You know what to do.
Semangat
Komentar
Posting Komentar