Langsung ke konten utama

Selfish Makes You Focus on Yourself

 

Move on itu nggak selalu dari pacar kan?. Gue mau cerita dimana gue mencoba move on dari masa lalu-yang bagi gue saat itu adalah turning point dalam hidup gue yang sampai hari ini gue syukuri when I was teenager.

Pengalaman pertama kali move on adalah pas SMP. Gue move on dari sebuah masa lalu yang bikin gue saat itu nggak maju-maju. Ini soal pertemanan. Saat itu kelas 3 SMP, gue bersyukur nggak dibolehin pindah ke kelas reguler saat gue minta wali gue untuk menemui guru di sekolah. Gue yang notabene mendapat peringkat 2 di kelas reguler sebelumnya, mau nggak mau ikut kebijakan sekolah dengan gue ditempatkan di kelas exellent di kelas berikutnya dengan anak-anak pinter pentolan sekolah. Apa rasanya? Ofc bosen. Merasa terkucilkan. Thats why gue mau pindah kelas. Kalo yang biasanya gue sebagai primadona gosip artis di kelas reguler, maka di exellent nggak akan ada kerumunan yang bahas gosip artis yang lagi happening. Atau saat gue cukup kerjain PR di malam hari, tanpa susah payah gue belajar gue bakalan mentereng jadi yang paling pinter, karena yang lain jarang ada yang ngerjain. Tapi di exellent, nggak cukup hanya kerjain PR dari guru, tapi juga harus paham BAB selanjutnya yang belum dijelasin. Well. It was a such as a good experients. Dari situ gue tetep bisa punya pengalaman bagaimana agar gue bisa tetep membawa diri. Sekalipun gue jadi bagian dari unggulan, tapi sikap gue tetep ingin jadi anak reguler. Yang menikmati hidup, yang nggak semuanya dibawa serius.

Dari yang di reguler peringkat pertama atau kedua, di exellent gue lompat indah jadi peringkat 32 dari 32 siswa. Well, untuk keluarga yang hanya peduli ranking pas rapot-an. Hal itu adalah sebuah kemunduran. Gue mulai nggak peduli dengan dunia sekolah saat itu. Gue bahkan kerap kali kirim surat sakit di hari sabtu. Gue selalu mencari cara untuk nggak di kelas karena kebetulan gue tergabung di OSIM (Organisasi Siswa Intra Madrasah). Padahal, alasan masuk  OSIM saat itu karena ditunjuk wali kelas di kelas sebelumnya, dan gue secara ogah-ogahan ikut. Ya gimana, ikut organisasi itu nyita waktu gue banget sebagai anak yang sekolah aja udah gue anggep beban. Apalagi liat temen-temennya yang pulang sedang dia harus stay rapat di sekolahan. Atau saat dia Cuma ingin jadi yang terima jadi saat ada acara, tapi nyatanya dia yang harus jadi organizer acara plus yang beresin di akhir event (baca: Buba).

Bosen. Temen gue di reguler perlahan jauh. Sedang dirumah gue nggak punya temen karena SD-nya gue emang dari pesantren. Satu-satunya hal yang bisa gue lihat saat itu adalah gue nggak butuh siapapun di sekolah. Gue mulai uninstall aplikasi facebook yang saat itu amat sangat jadi media yang mengabarkan apapun kegiatan yang sedang gue lakukan ke dunia. Hiburan gue nonton TV dan nulis semua yang gue rasa di buku diary. Bahkan, ketika talent day hari Sabtu, gue cari aman dengan ikut ekskul Qiro’ah. Karena yang gue tahu gue nggak akan capek ngobrol sama orang-orang karena jumlahnya cuma 7 biji dan ke semuanya belum pernah ada yang gue kenal personally. Gue yang selengean, tiba-tiba ikut ekskul Qiroah, jelas bikin temen-temen seperjuangan gue sangsi. Mereka pikir, apakah preman mau tobat?. Tapi bangganya, itu adalah pertama kalinya gue mulai tidak peduli dengan apa kata orang, even teman terdekat gue-dulu. Yang gue tahu, gue sedang memakai seluruh energi yang gue punya untuk diri gue sendiri. Walhasil, gue nggak takut dalam membuat keputusan walaupun hal itu bikin gue beda dari yang lain. Tanpa sadar gue mulai memahami diri gue lebih dalam dari yang sebelumnya. Terbukti dari gue yang bodo amat dengan opini orang lain terhadap apa yang gue lakukan. Gue nggak lagi peduli dengan masa lalu, dimana yang gue lihat adalah dengan terus jalan ke depan tanpa gue mau tahu tentang betapa buruknya masa lalu gue. I’m so proud of it.

Dari sikap selfish itu, nggak sedikit teman-teman gue atau bahkan orang tua mereka yang kenal dekat dengan gue suka nyindir halus dengan bilang bahwa gue mulai menghilang dari peredaran. Gue emang nggak lagi kumpul dengan mereka. Gue nggak lagi menawarkan tumpangan bonceng temen sekalian mampir rumahnya kayak biasa. Gue ngerasa nggak perlu melakukan hal itu karena ngga ada benefitnya ke gue. Gue yang dulunya bahkan super dilema mau ngajak temen gue yang mana untuk di anter pulang sampe relain gue bonceng 3. Sekarang cuek bebek karena gue pikir, harusnya mereka sendiri udah anticipate giamana cara pulangnya dengan cara apa karena kita udah dewasa. I love her yang saat itu hidup dengan dirinya sendiri.

Puncaknya, gue melanjutkan sekolah berasrama di kawasan yang lebih kota daripada lingkungan gue sebelumnya. Awalnya, gue pikir gue akan culture shock pas disana. Karena di lingkungan gue, mereka yang dari desa saat ke kota akan terlalu naif dan lugu untuk kehidupan di kota. Hasilnya, selain mereka akan lari ke kenakalan remaja, rata-rata mereka akan putus sekolah sebelum waktunya karena terpengaruh hal buruk di luar sana. Tapi ternyata, Maha baik Allah yang masih membiarkan gue untuk selfish dengan diri gue. Dari awal gue masuk kelas, gue nggak mengenali siapapun sebelumnya. Gue juga tidak mencoba akrab dengan siapapun. Dari selfish itu gue mendapat pelajaran bahwa, semakin gue memahami diri gue, semakin gue memahami orang lain. Maka, gue set boundaries tentang siapa aja yang selalu gue coba hindari karena malas cari masalah sama dia. Atau siapa aja yang netral yang lets go aja mau gue ajak bicara. Prinsipnya simpel saat itu, lo terserah mau jungkir balik di depan mata gue, selama itu nggak nyentuh gue, lo bebasa ngelakuin apapun. Walhasil, I’m still on my goals. Gue tetep nulis diary untuk memahami diri gue. Gue nggak berusaha untuk jadi yang paling pinter karena gue ngerasa nggak enjoy. Gue hanya melakukan apa yang gue senangi yang bikin gue merasa bangga dengan diri gue dan berakhir muji diri gue sendiri ketika gue nulis diary. Itu yang gue enjoy..

Dan hasilnya, saat itu gue menemukan diri gue enjoy saat presentasi. Gue suka pandangan paham temen-teman saat gue menjelaskan materi dengan berbagai analogi ynag gue punya. Gue suka saat bahasa tubuh gue all out keluar saat presentasi. Gue suka saat presentasi berakhir dan gue akan bilang ke diri gue bahwa seperti itulah seharusnya yang gue bilang di depan kelas-nggak kurang dan nggak lebih. Sekali lagi, ini adalah the power of selfish, ketika kita hanya menghabiskan energi yang kita punya untuk diri kita sendiri. Kita nggak peduli dengan pendapat dan persetujuan orang lain untuk kita bergerak melakukan apa yang kita sukai. Saat itu gue nggak lagi mengejar, gue malah menarik. Gue mendapat banyak sekali kesempatan yang belum gue dapat dan bayangkan sebelumnya. Mulai ada tawaran untuk gue mengikuti berbagai macam perlombaan. Suatu kompetisi yang harusnya bukan anak jurusan gue yang diikutkan. But let say, talent make you light.

Tapi disinilah, gue sebenarnya ingin melanjutkan cerita tentang journey gue. tapi yang yang ada topiknya malah nggak fokus. Maka mari, adopt yang sekiranya bermanfaat jika lo adopt ke hidup lo yang sekarang. Selebihnya, mungkin ada hal yang terlalu berlebihan yang gue lakukan di masa lalu dan buat lo itu nggak bagus, just skipped. I just want to share gimana selfish bisa membawa gue lebih fokus memahami diri gue. Dan gue pun harus belajar lagi dari tulisan gue ini. Bukan berarti karena gue berbagi advice maka gue paling bijak dan udah paling bener, NO. Gue juga butuh untuk di nasehatin, dan menulis adalah cara gue yang paling ampuh buat menasehati diri gue sendiri yang kerap kali lupa ini. Syukur-syukur, ini jadi nasehat juga untuk kalian yang baca. Jangan ditelan mentah-mentah. You know what to do. Semangat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita perintis, bukan pewaris

  “Kamu kenapa nggak serius sih latihannya?” “Mau se-bagus apapun toh pasti bakalan kalah. Saingannya nanti katanya bagus-bagus” “Siapa yang bilang?!?” Itu sepenggal obrolan tegang yang ku lakukan saat membujuk seorang adik yang dalam waktu dekat akan menjadi kontingen lomba mewakili kecamatan. I felt de javu. Dejavu adalah saat kamu merasa apa yang terjadi sekarang, pernah dialami di masa lalu. (Brain Academy) Saat itu untuk pertama kalinya dalam hidup ada yang sepercaya itu mengembankan sebuah amanah besar. Dimana aku terpilih menjadi salah satu perwakilan lomba mewakili sekolah, yang mana tiap tahunnya sekolahku selalu menjadi juara di ajang lomba tersebut. Meski aku tak dituntut secara langsung harus menang, tapi yang ku tahu semua cost yang sekolah alokasikan pasti agar siswa-siswi nya menang. Dan keresahan yang sama juga ku rasakan saat itu. Karenanya aku merasa dejavu. “Gimana kalo yang berkompetisi nanti bagus-bagus?” “Ya, mau gimana? Itu urusan mereka. Tu...

coretan

malam minggu yang selama ini gue jalani bukan malam minggu yang keluyuran diluar ataupun hangout bareng temen.juga nggak ada tuh yang namanya free pas weekend.malam minggu malah diisi dengan belajar beladiri yang jujur aja gue nggak suka.dan minggu nya ,pagi gua ikut pengajian rutin dan siangnya gue belajar buat kerajinan.bener-bener full abis. ya capek sih,tapi mau gimana lagi? ini adalah aturan yang emang harus gue patuhin.dalam ngejalanin semua ini gue cuman butuh yang namanya ikhlas.karna ikhlas adalah the magic word yang bisa mengubah dari beban jadi lega.dan itulah kenapa gue selalu percaya bahwa dalam hidup lho nggak akan bisa terus-terusan ngedapetin apa yang lho mau.karna selalu aja akan ada orang - orang yang mengatur hidup lo.intinya jangan jadiin apa yang nggak lho suka jadi beban hidup lho.toh,itu juga akan ngebuat lho jadi stres.jalani aja dengan ikhlas,dan insya allah semua akan indah pada waktunya. Btw,selamat malem minggu yang lagi sendiri.❤❤

Negatively on Social Media #Perspective vol.5

Malang, Sept 29 2020 06.01.PM Beberapa hari lalu, pas banget mau balik kerumah. Something broken with my phone . Tombol powernya rusak. Ini bukan yang pertama kalinya, karena beberapa tahun sebelumnya-pas gue kelas 2 SMK kalo nggak salah, tombol ini juga pernah rusak dan dibenerin lagi, bisa. Gue sebenernya aware si tombol ini rusak (lagi) udah lumayan lama. Konsekuensinya, gue nggak bisa nge screencaptured for a while . dan yang gue aware lagi bahwa hp gue nggak boleh mati. karena kalo terlanjur mati. Wassalam,,, my phone is samsung galaxy grand Neo btw ,cari di google kalo kepo. Lumayan lama sejak kelas 1 Smp kayanya Jadilah gimana caranya gue coba untuk terus mantau hp gue supaya nggak keabisan batre,, gue rela tidur dengan posisi kebalik (dalam artian gue puter tidur 180 derajat) supaya gue bisa nyolokin hp pas tidur.Karena emang posisi colokan ada di deketnya kaki. Harus ya? Harus. Karena gue biasa bangun pake alarm. dan sometimes suka nggak tahu diri kalo alarmnya kejauhan. bi...